Sekretaris Jenderal Federasi Guru Independen Indonesia Iwan Hermawan mengatakan, pemerintah provinsi dan kota atau kabupaten bertanggung jawab membiayai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah jika akan memaksakan melanjutkan Kurikulum 2013.
”Sejauh ini, hanya sekolah-sekolah yang melaksanakan Kurikulum 2013 yang dijadikan percontohan akan dibiayai Kemdikbud (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan). Sekolah yang ikut-ikutan jangan sampai membebankan biaya kepada orangtua murid,” kata Iwan, di Jakarta, Senin (29/12).
Namun, guru-guru merasakan adanya nuansa ”penggiringan” dari dinas pendidikan provinsi ataupun kota/kabupaten melalui para pengawas. Menurut Iwan, di Bandung ada kegiatan menampung aspirasi guru, tetapi dalam pelaksanaannya, guru digiring agar setuju melanjutkan Kurikulum 2013. Guru ditakut-takuti, jika kembali ke Kurikulum 2006, jam mengajar akan berkurang dan tidak akan mendapat tunjangan profesi guru.
Dosen Program Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka Jakarta, Elin Driana, mengatakan, sebenarnya banyak kesamaan prinsip Kurikulum 2006 dan Kurikulum 2013. Tidak berhasilnya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan tahun 2006 lebih karena terhambat faktor penentu, seperti minimnya peningkatan kualitas guru, kurangnya pendampingan, dan kegiatan kolaboratif.
Faktor pendukung lainnya, seperti perubahan pola pikir dalam pembelajaran dan motivasi untuk melakukan perubahan, pembenahan sarana dan prasarana penunjang, serta pemenuhan standar nasional pendidikan lainnya, juga tidak dipenuhi.