Report Abuse

Blog berisi kumpulan produk hukum Indonesia.

Mendikbud Putuskan Kurikulum 2013 Diterapkan Hanya di 6.326 Sekolah

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Rasyid Baswedan segera mengeluarkan peraturan menteri pendidikan dan kebudayaan (Permendikbud) terkait pelaksanaan Kurikulum 2013 (K-13). Anies sudah memutuskan, pelaksanaan K-13 untuk Semester II (Januari 2014) hanya diterapkan oleh sekolah-sekolah angkatan pertama sebanyak 6.326 sekolah

beberapa syarat atau kriteria kelayakan bagi sekolah yang ingin mengimplementasikan kurikulum 2013
Anies Baswedan

Anies menjelaskan, K-13 sudah dijalankan oleh dua angkatan. Angkatan pertama adalah sekolah-sekolah yang menjalankan K-13 pada tahun 2013. Mereka saat itu disebut sebagai "sekolah inti" sebanyak 6.326 sekolah. Sedangkan, angkatan kedua adalah sekolah-sekolah yang mulai melaksanakan K-13 pada tahun 2014.
Dia mengatakan, dalam fase pembenahan K-13, sekolah angkatan pertama (6.326 sekolah) akan disebut sebagai sekolah percontohan. Sekolah-sekolah sudah menjalankan K-13 selama tiga semester. Namun, sekolah angkatan kedua baru menjalankan K-13 selama satu semester.
"Angkatan kedua baru satu semester. Itu off. Tetapi angkatan pertama jalan terus, dengan evaluasi," katanya.
Sebagai latar belakang, pemerintah memberlakukan K-13 sejak tahun 2013. Di tahap awal penerapan, mantan Mendikbud Mohammad Nuh menetapkan 6.326 sekolah sebagai sekolah inti. Selanjutnya, pada 2014, Nuh menetapkan K-13 dilaksanakan di semua sekolah di Indonesia.
Anies mengungkapkan, sebelum mengeluarkan Permendikbud, ia akan mengirimkan semacam surat edaran berisi penjelasan K-13 kepada seluruh sekolah. Menurutnya, surat itu akan memuat penjelasan menteri tentang perubahan dalam pelaksanaan K-13.
"Sore ini diumumkan. Saya lagi finalisasi teksnya supaya tidak ada kesalahan," ujarnya.
Anies mengatakan, sejak dulu, sekolah hanya menerima peraturan menteri saja. Namun, tidak pernah ada penjelasan tentang mengapa kebijakan itu dijalankan. Dia ingin agar guru tahu langsung dari menteri dan bukan dari pihak lain, termasuk media.
"Sedari dulu yang diterima selalu hanya Permen (peraturan menteri), bahasa hukum saja. Tetapi, mengapa harus dilakukan itu, mengapa tidak begini. Mereka ditanya orangtua, ditanya masyarakat, sekolah cuma bisa jawab, keputusan menteri. [Ketika ditanya] mengapa? Tidak ada (yang bisa jawab)," katanya.

Related Posts