Lembaga pendidikan menjadi “rumah kedua” untuk menempa anak-anak menjadi manusia dewasa yang bermartabat. Sayangnya, pendidikan yang dijalani selama ini belum sepenuhnya melahirkan manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Akibatnya, sejumlah penyelewengan dalam kehidupan berbangsa masih terjadi hingga saat ini, bahkan cenderung semakin parah.
Kalau pada masa Orde Baru, praktik korupsi dan kolusi hanya terjadi di lingkaran dalam kekuasaan eksekutif dan di tingkat pusat, kini di Orde Reformasi, praktik haram tersebut merembet ke legislatif dan yudikatif, bahkan meluas ke tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Intoleransi pun semakin marak.
Kaum minoritas tak lagi mendapat perlindungan yang memadai serta menjadi sasaran tindak kekerasan kelompokkelompok intoleran, serta sebagian warga negara tak leluasa beribadat sesuai ajaran agamanya. Keserakahan pun menjadi-jadi, sehingga jurang antara orang kaya dan miskin semakin lebar.
Di samping penegakan hukum yang masih lemah, penyelewengan tersebut juga terjadi karena sejak lama anak didik di sekolah dan mahasiswa hanya mendapat transfer pengetahuan, tanpa penanaman nilai-nilai luhur kemanusiaan dan kehidupan. Para guru dan dosen hanya mentransfer ilmu, tetapi kurang menanamkan nilai-nilai moral.
Kondisi tersebut diperparah oleh orangtua yang sibuk dengan urusan masing-masing, sehingga tak memiliki waktu cukup untuk mendidik anak-anak di rumah. Akibatnya, ketika bekerja dan bermasyarakat, mereka menjadi individu yang korup, intoleran, dan serakah.
Kenyataan yang memprihatinkan itu membuat Jokowi saat berkampanye pada Pilpres 2014 menggagas tagline revolusi mental untuk memperbaiki kondisi bangsa yang karut-marut ini. Bagi kita, revolusi mental memang harus dimulai dari dunia pendidikan dan guru adalah motor penggerak, sekaligus teladan.
Setidaknya ada empat aspek yang harus diperhatikan agar guru benarbenar bisa menjadi lokomotif perbaikan bangsa melalui gerakan revolusi mental.
Pertama, perbaiki kesejahteraan guru! Selama ini, sebagian besar guru bekerja sesuai argo. Mereka datang ke sekolah hanya untuk mengajar dan bukan mendidik. Tak jarang waktu mengajar pun disunat karena menjalani pekerjaan lain untuk menambah penghasilan. Kebijakan pemerintahan SBY untuk memperbaiki kesejahteraan guru melalui program sertifikasi guru patut diapresiasi, tetapi sayangnya program tersebut berjalan tersendat-sendat.
Kita berharap pemerintahan Jokowi dapat lebih cepat menyejahterakan guru, termasuk segera mengangkat guru bantu dan guru honorer. Bila kesejahteraan guru semakin baik, kita percaya mereka akan mendidik anak bangsa dengan lebih baik, sekaligus menjadi model manusia Indonesia yang telah mengalami revolusi mental.
Kedua, pelatihan guru. Sebagian Kurikulum 2013 sebetulnya telah mengadopsi sistem pendidikan yang terbukti sukses dijalankan sekolah-sekolah swasta tertentu untuk melahirkan siswa berprestasi dan berakhlak mulia. Oleh karena itu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan hendaknya mengundang para guru yang terbukti berhasil mendidik siswanya untuk berbagi kiat sukses mendidik kepada koleganya dengan memadukan ilmu pengetahuan dan nilai-nilai kemanusiaan dan kehidupan. Guru-guru tersebut juga menjadi model bagi koleganya.
Ketiga, penyebaran guru yang lebih merata. Ketimpangan penyebaran guru di Indonesia harus segera diatasi agar revolusi mental tak hanya berlangsung di Pulau Jawa, tetapi juga di luar Jawa, karena setiap kelas bisa diasuh minimal satu guru.
Keempat, menjadikan guru sebagai profesi mulia dan bergengsi. Melalui perbaikan kesejahteraan, kita berharap mulai saat ini pemerintah merekrut bibit-bibit unggul untuk dididik menjadi guru. Calon guru bukan lagi berasal dari mahasiswa yang gagal lolos tes pada jurusan-jurusan favorit atau pilihan terakhir saat masuk perguruan tinggi, tetapi mereka yang benar-benar terpanggil memperbaiki kehidupan bangsa.
Untuk itu, seleksi calon guru pun dilakukan lebih ketat. Selain guru, revolusi mental juga harus terjadi pada para penyelenggara negara, tokoh agama, dan pemuka masyarakat, yang berangsur-angsur menularkannya kepada masyarakat agar di masa mendatang manusia Indonesia pun meninggalkan perilaku korup, intoleran, dan serakah. ***