Report Abuse

Blog berisi kumpulan produk hukum Indonesia.

Pendidikan Karakter Versus Authoritarian


Pendidikan Karakter Versus Authoritarian
SAAT ini sedang digalakkan pendidikan berbasis karakter. Konsep pendidikan karakter tentu baik apabila diimplementasikan dengan baik pula.

Akan tetapi, sudahkah konsep pendidikan karakter itu terlaksana dengan baik? Atau justru ada model pendidikan lain yang sudah telanjur membudaya? Jawabannya ada. Model pendidikan sekarang ini yang sudah membudaya di institusi pendidikan cenderung authoritarian. Model pendidikan ini mengutamakan kepatuhan dan ketaatan pada figur otoritas di sekolah, yaitu guru.

Model pendidikan ini telah membudaya di banyak institusi pendidikan di Indonesia. Cirinya antara lain jawaban murid harus selalu sama dengan jawaban guru, murid harus selalu mengiyakan pendapat guru.
guru otoriter
guru otoriter
Jika tidak, maka murid akan dianggap salah, bodoh, ngawur, dan tak jarang nilai murid akan jelek. Parahnya, ada juga murid yang langsung menjadi bahan tertawaan dan ejekan teman-temannya (bullying). Tanpa disadari model pendidikan authoritarian seperti itu cenderung membentuk dan memberi efek negatif pada perkembangan murid.

Murid tidak terbiasa berpendapat menurut diri sendiri, tidak terbiasa mengekspresikan ide-ide, gagasan, dan perasaannya. Akibatnya, murid menjadi kurang kreatif, kurang kritis, dan kurang peka pada perubahan yang terjadi, baik di dalam maupun luar dirinya.

Paradigma Baru


Hal ini dibuktikan oleh kondisi riil di kelas. Ketika guru menanyakan, apakah ada pertanyaan? Murid-murid yang dididik dalam model pendidikan authoritarian akan sangat jarang memberikan pertanyaan.

Contoh lainnya, ketika mahasiswa diminta menentukan topik penelitian, maka mereka yang terbiasa belajar dalam model authoritarian sejak kecil akan setengah mati (hidup) untuk menemukan topik itu, sebab dia tidak terbiasa berpikir kritis dan kreatif. Dia telanjur biasa menerima apa saja yang disampaikan gurunya, sehingga menjadi tumpul untuk melihat suatu hal.

Fenomena tersebut kiranya dapat mendongkrak pemikiran kita, bahwa perlu ada paradigma baru yang dikembangkan institusi pendidikan. Paradigma bahwa murid tidak harus selalu sama dengan guru. Paradigma bahwa murid bebas mengekspresikan gagasan dan perasaannya secara bebas dan bertangung jawab.

Paradigma bahwa melalui kesalahan atau perbedaan itulah murid mempelajari hal baru, menemukan jalan lain, jalannya sendiri dalam menelaah sebuah persoalan. Dengan begitu murid dapat menjadi pribadi yang berkarakter dan berciri khas, yaitu menjadi diri sendiri.

Clara Vania, mahasiswa Prodi Bimbingan Konseling Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Suara merdeka

Related Posts