Kementerian Agama mengatakan, upaya perbaikan ini tidak terlepas dari meningkatnya radikalisasi yang menjangkiti sebagian umat Islam di Indonesia. "Kajian kita menunjukkan bahwa sejarah Nabi Muhammad lebih menitikberatkan pada perang-perang, tapi aspek luas tentang sifat nabi yang amanah, jujur, sangat adil, humanis belum banyak di literatur, apalagi literatur di sekolah," kata Abdurrahman Masud dikutip BBC Indonesia.
"Pelurusan itu harus, misalnya makna jihad yang disalahpahami, yang selalu diidentikkan dengan perang. Padahal maknanya luas," tambahnya. "Ada ajaran (Nabi Muhammad tentang nilai-nilai kemanusiaan) yang perlu ditekankan. Jika anak-anak tidak membaca (secara) komprehensif, bisa salah paham," katanya.
Empat tahun lalu, temuan survei LAKIP terhadap pelajar SMP-SMA di 100 sekolah (59 swasta, 41 negeri) menunjukkan hampir 50% pelajar setuju dengan "cara-cara kekerasan dalam menangani isu moralitas dan keagamaan".
"Kalau penyebab secara spesifik, harus diteliti lebih dalam, tetapi bisa diduga karena memang bahan-bahan yang mereka terima mengarah pada hal tersebut," papar Bambang.
"Misalnya saja dalam pendidikan agama, kurang sekali memberi penekanan kepada Nabi sebagai pembawa perdamaian itu, maka kemudian ketika timbul literatur tentang kehidupan Nabi cenderung yang pada kekerasan, itu mudah sekali masuk," jelasnya lebih lanjut.
Dia kemudian memberikan contoh, kehadiran literatur-literatur seperti itu yang dikeluarkan oleh kelompok radikal.
"Apalagi kondisinya memungkinkan anak didik kecewa dengan keadaan, sehingga ketika ada wacana tentang hal yang menuju pada kekerasan, atau mengubah keadaan dengan kekerasan, itu mudah sekali masuk dan mudah dicerna," jelasnya.