Report Abuse

Blog berisi kumpulan produk hukum Indonesia.

Wacana Penarikan Kewenangan Guru ke Pusat

Kurangnya perhatian serius dari pemerintah terutama pemerintah daerah terhadap guru memunculkan wacana agar urusan kewenangan guru dikembalikan ke pusat. Hal itu mengemuka dalam diskusi media bertajuk 'Melihat Peluang Tata Kelola Guru di Bawah Pemerintah Pusat' yang digelar Forum Wartawan Pendidikan (Fortadik) di Perpustakaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, baru-baru ini. Sejumlah narasumber yang hadir anggota DPR dari Fraksi Golkar, Ferdiansyah, Ketua PB Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Usman Tonda, dan pengamat pendidikan, Indra Charismiadji.


Ketidakseriusan itu, seperti dikemukakan Usman Toda, terlihat pada anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Alokasi dana 20% untuk pendidikan ternyata diambil dari dana alokasi umum (DAU) untuk guru.

"Belum lagi kalau sedang pemilihan kepala daerah (pilkada), guru 'diseret' ke sana ke mari. Jika tidak memihak, guru dimusuhi," ujarnya.

Selain itu, lanjut Usman, akibat lemahnya koordinasi membuat kebijakan pendidikan tidak sampai ke tingkat lokal. Ini berdampak tak hanya pada guru, tetapi kualitas pendidikan di daerah tersebut.

"Rencana penarikan kewenangan pengelolaan guru ke pusat ini sebenarnya sudah dilontarkan sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Tapi baru jenjang sekolah menengah atas (SMA) yang berhasil. Tapi itu pun baru ditarik ke provinsi," ujarnya.

Ferdiansyah menilai kebijakan untuk guru belum berjalan optimal. Padahal, guru mengemban fungsi pertahanan, selain mengajar.

"Di era digital saat ini guru memainkan peran sebagai pertahanan agar siswa tidak disusupi faham radikal," ujarnya.

Ferdiansyah menilai, penarikan kewenangan itu bisa dilakukan mulai dari guru berstatus aparatur sipil negara (ASN). Hal itu bisa dilakukan, karena mereka harus tunduk pada Undang-Undang (UU) ASN, diantara pasalnya menyebutkan mereka harus siap ditempatkan dimana saja di wilayah Indonesia.

"Kalau mau mulai penarikan bisa mulai dari guru ASN. Guru swasta menyusul," ujarnya.

Menyinggung soal dana yang dibutuhkan untuk penarikan itu, Ferdi mengutarakan hal itu bukan perkara sulit bagi pemerintah. Ia menganalogikan masalah itu seperti memindahkan uang dari saku kanan ke kiri, yaitu dari APBN ke APBD.

"Setiap tahun dana untuk membayar sekitar 3 juta guru dibawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sebesar Rp76,8 triliun. Saya rasa tidak sulit, anggarannya kan sudah teralokasikan di APBN," tuturnya.

Untuk peningkatan kualitas guru, Ferdiansyah berharap organisasi profesi guru bisa dilibatkan dalam proses verifikasi dan validasi data. Sehingga program pelatihan guru menjadi jelas, karena dibuat sesuai dengan kebutuhan.

"Organisasi profesi bisa dipergunakan untuk klarifikasi anggotanya. Tetapi mereka harus jujur. Seperti organisasi Ikatan Dokter Indonesia (IDI), mereka tidak memberi surat registrasi untuk dokter yang tidak layak praktik," tandasnya.

Sementara itu, Indra Charismiadji menuturkan pengalaman Kementerian Agama dalam tata kelola guru. Karena meski dikelola pusat, tak berarti masalah guru selesai.

"Ada dua sistem yang sudah berjalan, yaitu di Kemendikbud dan Kemenag. Saya lihat dua-duanya memiliki problem. Sebelum penarikan itu dilakukan, Kemendikbud harus belajar bagaimana memperbaiki sistem itu dulu," ujarnya.

Indra mencontohkan kebijakan penarikan kewenangan guru SMA ke provinsi. Karena ternyata penarikan itu bukan tanpa masalah.

"Banyak guru yang mengantri agar dipindahkan sebagai guru SMP. Rupanya setelah pemindahan itu, para guru kehilangan tunjangan dari pemerintah kabupaten/kota terutama mereka yang tinggal di daerah terpencil," ujarnya.

Indra berharap pemerintah memanfaatkan Data Pokok Pendidikan (Dapodik) untuk melihat kebutuhan guru yang sebenarnya. Karena lewat data tersebut bisa diketahui secara pasti jumlah siswa per sekolah.

"Benarkah kita kekurangan guru. Pemerintah seharusnya menggunakan Dapodik untuk kebutuhan guru. Karena itu kan data riil. Jika kurang, tarik guru ASN untuk mengajar di tempat itu. Sehingga guru terdistribusi dengan baik," tuturnya.

Indra juga menyayangkan kebijakan pendidikan pemerintah daerah masih bersifat copy paste dari pusat. Seharusnya pemerintah daerah memiliki program dan kebijakan yang merujuk pada kondisi di daerah masing-masing.

"Kebijakan pendidikan kita seragam dari ujung ke ujung Indonesia. Padahal, setiap daerah memiliki kekurangan dan kelebihannya. Akibatnya, pendidikan kita seperti jalan di tempat," ujarnya.

Selain itu, lanjut Indra, urusan kesejahteran guru yang belum merata. Guru di kota besar memiliki penghasilan yang sangat besar, sementara sebagian guru hidup pas-pasan.

"Urusan kesejahteraan guru juga harus dibenahi agar tidak menimbulkan kecemburuan sosial. Bukan rahasia lagi kalau guru di DKI Jakarta bergaji puluhan juta rupiah, sementara kita juga dengar ada guru yang digaji ratusan ribu," pungkasnya.

Seperti diberitakan beberapa waktu lalu pemerintah melalui Kementerian Penertiban Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan Rebiro) dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menggulirkan wacana guru untuk ditarik ke pusat. Kajian ini mencuat setelah pemerintah melakukan studi ke sejumlah negara bahwa keberadaan guru berada dalam kewenangan pemerintah pusat.

"Di Korea guru merupakan pegawai pemerintah pusat, sedangkan di negara kita pada era otonomi daerah, guru menjadi kewenangan daerah. Maka perlu kita kaji lagi apakah guru kita bisa menjadi guru nasional sehingga dapat lebih mudah mengaturnya," kata Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Asman Abnur saat pembekalan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) 2018 di lingkungan Kemendikbud, Jakarta, Senin (26/3). sumber mediaindonesia.com

Related Posts